Seleb, Jakarta -  Karya Tintin Wulia dipamerkan di Biennale Venesia ke-57, Italia mulai dari 13 Mei sampai 26 November 2017. Kembarannya bisa dinikmati di Senayan City, Jakarta. Pada salah satu ruang pameran, sebuah layar video menampilkan empat manusia yang berkisah tentang hidupnya secara terpisah.

Tiga dari mereka bekas tahanan sebuah revolusi besar pada 2065, lalu dikirim ke Planet Mars hingga 2079. Adapun satu lagi adalah anak bekas tahanan itu. Mereka berkisah tentang hidupnya yang dinistakan oleh rezim, diperlakukan tak manusiawi. Mereka ditahan tanpa pengadilan.

Baca: Triawan Munaf Pontong Tumpeng untuk Pameran Tintin Wulia

“Tanah Mars itu keras… suatu saat kami disuruh merayap sampai kulit tangan dan siku luka-luka,” ujar si bapak. “Kami menggeliat seperti cacing.” Si anak muda lalu menyambung, “Kalau dalam film, saya akan ambil gambar dari ketinggian, gerak seperti cacing—lalu makin mendekat, mendekat, dan terlihatlah manusia yang penuh dengan lumpur.”

Melihat Biennale 2017 dari Senayan City

Instalasi video berjudul A Thousand and One Martian Homes itu merupakan bagian dari karya perupa Tintin Wulia yang dipamerkan di Senayan City, Jakarta. Karya serupa juga dipamerkan di Paviliun Indonesia dalam Biennale Venesia 2017 di Venesia, Italia. Sejak Sabtu, 13 Mei lalu, tiga karya Tintin Wulia terpasang di sebuah ruang di lantai 6 Senayan City. Tiga karya instalasi yang dipajang secara simultan itu bertajuk 1001 Martian Homes. Karya-karya tersebut dipersembahkan kepada masyarakat di Indonesia yang tak bisa menyaksikannya dalam perhelatan pameran seni Biennale Venesia ke-57 atau 57th Venice Biennalle di Venesia, Italia.

Dalam dimensi ruang yang sama, 70 meter persegi yang terbagi dalam tiga ruang, baik di Jakarta maupun Venesia, Tintin juga menyajikan dua karya lain yang menghubungkan dengan masyarakat dunia. Pengunjung bisa berinteraksi tak hanya dengan karya tapi juga pengunjung di seberang benua. Lihat saja karya berjudul Not Alone. Perupa kelahiran Bali pada 1972 ini menyusun ribuan modul heksagonal akrilik transparan membentuk kubah.

Baca: Bekraf Usung Seniman Tintin Wulia Pameran di La Biennale Venezia

Seniman tersebut juga meletakkan sensor dan kabel elektronik yang menghidupkan pendaran kawat listrik dan 228 lampu LED yang menggambarkan rasi Sagitarius. Dua mesin kembar terhubung dengan Internet yang terpasang di dua tempat pameran terpisah. Penonton diajak masuk melintasi batas ruang dan waktu.

Layar Video di pameran Tintin Wulia

Seiring gerakan pengunjung yang mendekat dan menjauh, sensor akan menghidupkan lampu yang membentuk tiga kata: We, Are, Not Alone, dengan ejaan terbalik. Pancaran akrilik dan lampu membentuk bayangan yang indah di langit-langit. Kamera pengawas di atas kubah merekam dan saling mengirim rekaman dari lingkungan. Pada saat bersamaan, umpan silang siaran video diproyeksikan di langit-langit di atas mesin.

Karya interaktif lain terlihat ketika pengunjung digiring masuk ke lorong dan menemui pintu berlubang. Di situ kita bisa mengintip. Jika beruntung, di Venesia sana, bisa jadi seseorang juga sedang mengintip dan melihat mata kita. Rekaman bola mata diperlihatkan bergantian di dinding lorong bertangga.

Kurator Agung Hujatnikajennong menjelaskan, karya Tintin, 1001 Martian Homes, adalah cerita tentang kelangsungan hidup. Meski tak lagi memegang ikon seperti paspor atau peta, ciri khas karya seniman ini sangat jelas. “Bicara tentang batas, perlintasan—dalam kisah nyata dan pengertian lebih jauh dan imajiner,” ujar Agung dalam pengantar kuratorialnya. 

Direktur artistik Enin Supriyanto mengatakan karya Tintin berangkat dari narasi personal yang sudah penuh dengan pelipatan ruang dan waktu dalam perlintasan diaspora yang kompleks. Dalam karya ini, kita dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa datang terangkai dalam ruang nyata, ruang antara, dan imajiner. “Lewat karya ini, Tintin mengajak kita untuk bertemu, bergaul, dan mengajukan berbagai imajinasi tentang ide kosmopolitan,” ujar Enin.

Dalam Biennale Venesia itu, Tintin mewakili Indonesia dengan dukungan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Seniman yang tinggal di Brisbane, Australia, ini sebelumnya dikenal sebagai pekerja film yang kemudian menekuni seni instalasi, performance, permainan interaktif, dan seni rupa dalam beragam medium. Karya-karyanya condong pada persoalan identitas, lintas batas, dan diaspora, yang dipamerkan di galeri-galeri serta pameran internasional di berbagai negara.

Sayangnya, karya Tintin ini diletakkan di ruang yang kurang menarik perhatian pengunjung mal. Pun, tak ada keterangan cukup mencolok yang menarik pengunjung bahwa karya ini mengisi perhelatan pameran seni bergengsi dan tertua di dunia.

DIAN Y. | ELIK SUSANTO